“Ayo mas silahkan, masuk saja! Ayo langsung makan! Seadanya.” Ibu pengurus Kelenteng Hong San Kiong di Gudo, Jombang, dengan ramah mempersilahkan saya dan teman masuk ke ruang makan. Loh kami tidak mengenal satu sama lain tiba-tiba disuruh makan, tentu saja saya tidak menolak rezeki. Saat itu memang masih suasana Imlek sehingga banyak pengunjung yang datang dari luar kota Jombang. Jadi mungkin hidangan yang dipersiapkan diperuntukkan untuk tamu yang datang. Ini kedua kalinya saya ke Kelenteng yang telah berdiri sejak abad ke-17. Kunjungan pertama dulu tidak berarti apa-apa, hanya sekedar masuk, lihat sebentar dan pulang. Kunjungan kedua saya berniat untuk tahu lebih lanjut tentang seni wayang potehi setelah mendengar beritanya kalau seni wayang potehi di Gudo ini sudah Go Internasional dan disebut-sebut sebagai pusat seni wayang potehi di Indonesia. Siapa yang nggak bangga di tanah kelahiran saya, Jombang, ada budaya peranakan Tionghoa yang bertahan hingga sekarang dan berprestasi hingga ke mancanegara.
Klenteng Hong San Kiong Gudo
Dalam dialek Hokkien, Potehi berarti Poo (kain), Tay (kantong), Hie (wayang). Secara harfiah berarti wayang atau boneka yang berbentuk kantong kain. Konon seni Wayang Potehi sudah berumur sekitar 3000 tahun. Legenda mengatakan dahulu kala ada lima sekawan yang dipenjara dan menunggu eksekusi mati. Untuk menghibur diri menunggu ajal mereka menggunakan perkakas yang ada di penjara dan mulai ditabuh membentuk irama musik untuk mengiringi permainan wayang. Musik yang ditabuh terdengar keluar hingga ke telinga kaisar. Akhir cerita lima sekawan tersebut dibebaskan dari hukuman mati dan diangkat sebagai penghibur kerajaan.
Klenteng Hong San Kiong Gudo
“Kebetulan ada Pak Toni Harsono di sini, beliau Ketua Yayasan Fu He An Indonesia, ngobrol-ngobrol saja sama orangnya langsung kalau mau tahu potehi.” Saya segera menghabiskan sepiring nasi sayur asem lauk tahu tempe goreng dan ikan asin begitu diberitahu ibu pengurus kalau ada dedengkotnya potehi di situ. Setelah bersalaman dan mengenalkan diri, pak Toni mengajak mojok ke tempat pembuatan wayang potehi yang kebetulan saat itu ada yang bekerja.
Sambil melihat pembuatan wayang potehi, Pak Toni mulai bercerita bagaimana beliau memulai membangkitkan seni bercerita menggunakan media boneka dari Tiongkok yang telah lama mati suri di Indonesia. Akhir tahun 70an hingga 90an memang merupakan masa suram bagi orang Tionghoa di Indonesia akibat adanya Inpres No. 14 Tahun 1967 yang melarang agama, kepercayaan dan adat istiadat Tiongkok di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, termasuk perayaan Hari Raya Imlek dan pertunjukkan Wayang Potehi.
Tapi begitu larangan tersebut dicabut pada masa kepresidenan Gus Dur membawa angin segar bagi pelaku kesenian potehi di Indonesia untuk mengembangkan kembali kesenian yang sempat terabaikan selama tiga dekade. Pak Toni mengumpulkan dalang atau sehu dari berbagai kota seperti Jombang sendiri, Semarang, Kediri, Tuban, Tulungagung, untuk bekerja sama membangkitkan seni wayang potehi.
“Kakek saya dalang, ayah saya juga dalang, saya sejak kecil akrab dengan potehi dan tidak ingin kesenian ini hilang tanpa jejak.” Salah satu upaya Pak Toni untuk membangkitkan potehi adalah ngamen dari Kelenteng ke Kelenteng di berbagai kota untuk memperkenalkan kesenian tersebut ke generasi muda. Tidak hanya itu, beliau juga meminjamkan properti potehi dari mulai boneka, panggung, alat musik, dan lain sebagainya secara gratis kepada dalang. Bahkan Pak Toni menitipkan properti tersebut di beberapa Kelenteng-kelenteng di kota-kota besar seperti Jakarta sehingga sehu atau dalang yang dapat tanggapan dan ingin meminjam tidak perlu jauh-jauh datang ke Jombang. Irit dari segi logistik dan properti tersebut bermanfaat mendatangkan penghasilan kepada sehu. Perlu diketahui untuk satu set properti potehi harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Kelenteng Gudo pun menyediakan fasilitas gratis bagi siapapun yang ingin belajar mendalang, main musik, dan membuat boneka potehi.
Boneka Potehi dengan Tokoh Julius Caesar
Saat ini Kelenteng Hong San Kiong juga menjadi pusat pembuatan Wayang Potehi, banyak pesanan dari luar kota dan luar negeri. Pak Toni sampai bepergian ke Tiongkok untuk belajar bentuk asli boneka potehi tapi harus kecewa karena bentuk boneka potehi di Tiongkok sudah tidak sesuai aslinya. Tokoh dewa, jenderal perang, dan raja sudah banyak perubahan tidak sesuai pakem. Meskipun kaku dalam menerapkan pakem tapi Pak Toni tidak menolak ketika ada pesanan boneka potehi dengan tema tertentu yang bukan budaya Tiongkok misalnya boneka potehi Sinterklas atau Julius Caesar. “Ya kalau ceritanya berdasarkan dongeng atau cerita Tiongkok harus sesuai pakem baik warna baju, mimik, dan posturnya. Jangan diubah!” Tegas Pak Toni.
Untuk pementasan Wayang Potehi tidak cukup hanya satu hari saja, untuk satu judul cerita saja bisa selesai dalam 3-4 bulan, dan sekali penampilan durasinya dua jam. Duh berasa nonton sinetron di televisi yang bersambung nggak selesai-selesai. “Kalau dulu dialognya pakai Hokkien atau Mandarin, sekarang ya campur pakai Bahasa Indonesia juga. Menyesuaikan.” Terang Pak Widodo salah satu dalang yang kebetulan berada di situ.
Kebanyakan cerita wayang potehi diambil dari legenda klasik Tiongkok seperti Sie Djin Koei Tjeng Tang, Loo Thong Sauw Pak, Sie Kong, Hong Kiam Cun Ciu, Poei Sie Giok, Ong Kiau Li Tan, Cun Hun Cauw Kok, dan lain sebagainya. Sumpah saya nggak paham satupun cerita-cerita tersebut. Atau yang lebih modern dan populer mementaskan cerita Sun Go Kong atau Kera Sakti, cerita tersebut familiar di kalangan generasi muda karena serialnya di televisi begitu terkenal. Durasinya pun sekarang lebih pendek dan disingkat tanpa mengurangi esensi cerita agar penonton tidak bosan. Di bawah naungan Yayasan Fu He An, Pak Purwanto sudah mendalang ke berbagai tempat di Indonesia dan juga luar negeri seperti di Jepang, Taiwan, dan Tiongkok sendiri.
Panggung Potehi yang Harganya Ratusan Juta
“Mementaskan potehi juga merupakan persembahan kepada dewa, potehi mengajarkan kita sifat-sifat akhlak mulia serta budi pekerti yang luhur.” Terang Pak Toni. Sangat disayangkan beberapa Kelenteng tidak menanggap pentas wayang potehi dalam acara ritualnya. Mengundang artis penyanyi atau menggelar karaoke yang tidak ada hubungannya dengan tradisi Tionghoa lebih menarik bagi mereka.
Keinginan besar Pak Toni saat ini adalah membangun museum potehi di Kelenteng Hong San Kiong. Museum itu sedianya akan memamerkan ratusan wayang potehi berusia 100 tahun lebih peninggalan kakeknya. Dan diharapkan menjadi pusat kesenian, sehingga karawitan dan kesenian tradisional lainnya bisa dipentaskan di museum ini nantinya.
Klenteng Hong San Kiong Gudo
Jujur saya sendiri belum pernah menyaksikan Wayang Potehi secara langsung, hanya melihat dari video di Youtube saja. Padahal di Jombang di Kelenteng Hok Liong Kiong mempunyai jadwal tetap untuk pementasan Wayang Potehi. Apa kalian sudah pernah nonton Wayang Potehi?
Dengan Pak Toni Harsono
57 tanggapan untuk “Wayang Potehi Bertahan di Jombang”
cieee yang ikutan lomba. emang bisa menang kalau pernah nyinyirin jurinya *diselotip*
Heeeeh??? Juri siapa? Aku gak ada yang kenal. Lagian aku gak pernah nyinyirin anak orang. Aku kan lugu
hak hak hak *aku hanya bisa tertawa lirih*
Melu ngguyu ah
Oh…
Lagi paham kalo ada wayangnya 😀
Enaknya pas Imlek itu dapat makan gratis kalau ke Kelenteng mas. Hahahahhahah
Emang pikiran anak muda itu sama, apapun acaranya yang penting makanannya gratisan wkwkw
Wah wah wah baru tahu ada wayang model begini. Beneran unik! Rasanya pingin punya 1 buat souvenir hahaha. Good luck Alid, feelingku bagus nih.
Denger-denger yang termurah sebiji itu 150rb deh. Mau boneka potehi dengan wajahku yang ganteng gak?
Amin om, kata-kata adalah doa 🙂
Mestinya potehi wajah kamu lebih murah ya :p hwhwhw
wih, menarik juga ya Jombang punya wayang yang sudah ada sejak ribuan tahun. Wah, makam Gus Dur pasti g hanya sesak sama umat muslim. tapi jg orang Tionghoa Jombang, kalau ada acara makan gratis kok kamu seneng bukan main e mas?
Sukses yo lombane. Pesanku, jangan sampai tulisan ini menang. haha
Kamu kok jahad seh 🙁
Iyes Jombang termasuk kabupaten percontohan keberagaman loh.
Halah kowe juga paling demen makan gratisan wkwkw
di Malang juga ada beginian.
baru tau pas anak anak share di grup..
baca-baca-baca..
.
.
..oh ternyata buat lomba wkwkwk
Ya doain biar menang gitu 🙂
Disini ada wayang orang, biasanya dipertunjukkan pas di klenteng. Aku gak gitu paham cuma keinget film vampir cina gitu
Gak paham karena pakai bahasa Mandarin atau Hokkien? Koko nggak bisa bahasa tersebut ya? Bisanya cuma Angpao lai le hahaha. Btw klo wayang orang itu mungkin pertunjukan opera Cina ya yang bedaknya tebel-tebel.
Dempulnya tebelll… Haha.. Bisa lah bahasa itu mau coba?
Kamsia, kamsahamnida, sukriya, suwun loh ko :p
lagi nyadar kalo tone warna fotomu gitu semua ya?
sekilas mirip wayang golek ya wkwkwk
Byuh kamu kok care banget sih sama tone fotoku 🙂
Wayang golek yang cepot? Sekilas sama tapi berbeda ehehehe.
mungkin saya lebih suka menyebutnya wayang golek hehehe…
lucu lucu juga wayangnya..matanya dibuat ipit2
Hloh ya nggak bisa disebut wayang golek yang dari Sunda toh, kan berbeda meskipun sekilas sama.
wkwkw serupa tapi tak sama wkwkw…aku sukanya pelem golek piye jal..
nek aku seneng golek pekoro bhuahaha
padahal lokasi wayang ini deket dengan kota aku, tapi belum pernah berkunjung kesana, sayang banget… mungkin nanti liburan akan saya sempatkan berkunjung… bagus seprtinya…
http://www.kananta.com
Mbak domisili mana? Klo ke Jombang aku disenggol yak 🙂
saya nganjuk mbk, kan deket tuh sama jombang. gampang mbk, senggol tipis2 nanti. hehe
EMBAAAKKKKK *langsung pupuran*
:)))) mbak…
Duh Jombang :’
wah keren ya wayangnya
Waaaa…. aku baru tahu ada wayang potehi. Thanks infonya, yah….
ning cedhak stasiun kae yo ono wihara bukan sih mas?
Di Jombang nggak ada vihara satu pun, klo kelenteng ada tiga.
Sayang banget jika wayang Potehi sampai hilang, semoga Pak Toni bisa bertahan menjaga wayang dan museumnya
Kukira yang injury time cuma aku doang, eh, pak Widodo juga.
Eh keren banget, ini bagi saya bukan sekadar melestarikan budaya. Mereka melestarikan sebagaimana aslinya dulu. Kagum dengan bagaimana Pak Toni masih mempertahankan pakem bahkan lebih daripada daerah asalnya. Biasanya memang banyaknya pengaruh luar serta keterbatasan mengakibatkan kesenian sedikit demi sedikit berubah. Bagus sih sebagai bentuk adaptasi tapi saya kadang kurang senang juga karena kemurniannya jadi agak lewat. Kalau saya jalan-jalan lama di Jombang, ajak ke sini juga ya Mas! Hehe. Ya siapa tahu bisa makan gratis terus nonton pertunjukan gratis. Saya penasaran dengan lakon cerita yang sampai kemari, apa ada gejala-gejala yang bisa diamati atau tidak.
Akhir kata, semoga berhasil dengan kompetisinya.
Eh, seriusan bisa belajar bikin wayangnya? Kapan2 kalau pulang melipir ke sini ah…
selameeeetttt aku ora melu lomba iki. lah pasti kalah aku jeehhh
lah apa kabar yang ke Thailand itu?
Yang ke Thailand kan dikau ora melu, Lid 🙂 Misalnya kamu ikutan, ya kayaknya kita berangkat bareng sih heheheheheh 🙂
hmm… *sengaja dilama-lamian* biar ga disangka fast reader
Btw seumur-umur saya cuma taunya wayang golek aja, ternyata ada wayang jenis lain bernama wayang potehi, unik banget itu wayangnya bisa di bawa pulang gak? (dibeli/ diminta)
gudluck buat lombanya ya kak Alid *kedip-kedip*
Bawa aku pulang aja kak, aku juga lucu dan unik kok bhuahaha.
Padahal Wayang Potehi ini udah lama loh di Indonesia.
Wah ternyata banyak yang saya belum jamah.
Kapan-kapan mampir Jombang ah kalo ada agenda ke Kertosono dalam waktu lama
Sukses lombanya!
Ayo mak kopdaran, nanti tak traktir sate ringin contong 🙂
wih gue baru tahu kalau imlek ada tradisi wayang – wayangan beginian. taunya hanya tapi kong yang ada naga – naganya gitu.
Masih banyak ngak sech peminat wayang potehi gini ??? kayak nya makin tergerus zaman. Dulu di klenteng deket alon2 gresik selalu ada pertunjukan begini dan peminat yg nonton banyak banget
Itu dia om, jangankan Potehi, wayang kulit dan kesenian tradisional apapun itu saja peminatnnya hanya orang-orang tua zaman dulu 🙁
Iki klenteng seng nang pertigaan gudo iku mas Alid?
Waini mas junjunganqu, selalu memukau mantap jiwa.. semoga menang ya mz
Baru tau tentang wayang potehi ini, semoga tetap lestari ya 🙂
Pernah nonton wayang potehi di Semarang. Waktu itu pengen bikin film tentang dalang terakhir keturunan tionghoa. Sayang bapaknya dah meninggal. Kalau di Jombang, perajin dan dalangnya keturunan Tionghoa atau bukan?
Keren ya wayang potehinya, ternyata masih ada ajaa..
wah… bonekanya lucu lucu ya… bahan untuk ngebuatnya apa mas ?
jombang rek, haha
Mas, boleh tahu nomer kontaknya yayasan Fu he an ini atau email mungkin? Bisa di email ke saya kalau tidak mau dipublikasikan. Terima kasih
Maaf mbak Hermien, kemarin nggak sempat minta nomor kontak sama mereka 🙁