Konon di Lembah Kathmandu di Nepal terdapat tiga kerajaan besar pecahan Dinasti Malla yang bertahan hingga abad ke-15. Sebutlah Kerajaan Bhadgaon, Lalitpur, dan Kathmandu. Kerajaan-kerajaan tersebut meninggalkan monumen-monumen bersejarah termasuk tempat ibadah Hindu dan Budha. Setiap kerajaan pasti terdapat Durbar (istana) yang menunjukkan eksistensi masing-masing. Tak terkecuali dengan tiga kerajaan tersebut. Hanya kerajaan saya yang nggak ada istananya, syedih khan :p
Beruntung bagi turis, karena tiga durbar tersebut lokasinya saling berdekatan. Terjauh yaitu Bhadgaon yang jaraknya sekitar 13 km dari pusat ibu kota. Bhadgaon atau sekarang lebih dikenal dengan nama Bhaktapur bisa dicapai dengan naik bus lokal dari Kathmandu. Saya sendiri ke Bhaktapur setelah dari Nagarkot yang penuh duka.
Turun dari bus saya mengekor bapak dokter yang sedang mengajak keluarganya liburan di Bhaktapur. Bapak, ibu, dan tiga anaknya yang masih belia. Mereka berasal dari Chitwan, sekitar 7-8 jam dari Bhaktapur. Sama seperti saya, mereka liburan dari Nagarkot dan sekalian turun di Bhaktapur. Lumayan kan mereka ada fotografer pribadi, dan saya dibayar dengan segelas Lassi segar.
Semenjak gempa dahsyat yang melanda Nepal tahun 2015. Banyak bangunan luluh lantak. Tidak terkecuali bangunan tua di Bhaktapur. Saya melihat batu bata berserakan di beberapa bagian. Yang masih bertahan di tengah usianya yang sudah sangat tua adalah: Nyatapola Temple, Mini Pashupatinath Temple, Bhairava Nath Temple. Sementara Vatsala Devi temple yang terkenal dengan pagoda emas di atasnya, hancur berantakan. Bayangkan saja kerajaan yang dahulu makmur dan megah, di bumi hanguskan oleh alam. Tercatat beberapa kali Nepal dihantam gempa. Dan gempa tahun 2015 menewaskan hampir 9000 jiwa.
Tidak terkecuali dengan Patan Durbar Square, lokasinya dekat dengan Kathmandu. Saya ke sini naik angkot lokal. Saya melihat banyak scafolding yang menahan beberapa bangunan yang masih bertahan berdiri di area bekas kerajaan Lalitpur. Saya bingung apa yang mau dilihat di Patan. Semuanya berantakan. Orang-orang masih ramai beribadah di kuil tua yang berusaha berdiri kokoh dibantu penyangga. Ngeri membayangkan jika tiba-tiba roboh, sementara banyak orang beribadah di dalamnya. Saya menyasarkan diri memasuki gang-gang di Patan. Kalau sudah begini memang paling cocok untuk berburu foto jalanan.
Berharap di Kathmandu Durbar Square tidak seberapa parah, tapi nyatanya nasibnya sama saja. Kediaman Kumari Devi the Living Goddess hampir ambruk kalau tidak dibantu dengan tiang penyangga. Beberapa bangunan di tutup dan pengunjung dilarang masuk. Waktu yang paling tepat untuk ke sini adalah pagi hari ketika semua warga lokal memulai hari. Kuil-kuil ramai orang untuk beribadah.
Untuk memasuki durbar square, pengunjung diharuskan membeli tiket. Namun area durbar sudah menjadi satu dengan pemukiman warga dan pasar, jadi tidak ada pagar khusus. Loket tiket pun hanya terletak acak di beberapa tempat. Saya tentu saja nakal tidak membayar karena merasa nggak ada yang bisa dilihat. Jadilah nylonong masuk saja menyamar jadi warga lokal yang lalu lalang. Beruntung kulit saya coklat mirip orang Nepal, tapi tidak bagi bule yang jelas kentara keberadaannya. Sehingga pasti didatangi petugas. Saya sampai deh-degan ketika seorang mendekati saya dan tanya asal negara saya. Ndilalah ternyata hanya guide yang menawarkan jasanya. Tentu saja saya menolak.
Entah sampai kapan Nepal akan berbenah, masih banyak insfrastruktur yang perlu diperbaiki. Jalan di ibu kota saja banyak yang tidak beraspal dan berlubang. Ditambah bencana gempa yang sempat melumpuhkan negeri dengan bendera paling unik di dunia tersebut. Saya hanya bisa mengucap syukur, lahir dan tinggal di Indonesia dengan segala masalahnya. Rasanya tidak setara jika membandingkan dengan negeri tanpa lautan ini dengan Indonesia. Suatu saat saya pasti akan kembali ke Nepal, saya masih punya dendam dengan Sagarmatha.
Kalau mau lihat perbedaan beberapa bangunan bersejarah di Nepal sebelum dan sesudah gempa bisa klik laman ini: https://www.theguardian.com/world/gallery/2015/apr/29/nepal-earthquake-kathmandu-before-and-after-in-pictures
Happy Traveling
7 tanggapan untuk “Melihat Reruntuhan Tiga Durbar Square”
Mantab, Alid.
Sungguh elok dan menakjubkan Durbar Square warisan budaya dunia ini.
Semoga cepat bisa segera pulih. Di Prambanan juga sampe sekarang belum 100% jadi ๐
btw itu anaknya dokternya mirip maudy koesnaedi versi masih kecil ๐
-Traveler Paruh Waktu
Sekarang aku jadi tahu. Kamu ke sana bertugas jadi jurufoto satu keluarga. Hemmmm
Terlepas dari bencana yang mengguncang, semoga sedikit demi sedikit bisa bangkit dan situs bersejarahnya tetap terawat.
Itu bapak sama anak-anaknya cakep. Penampakan di sudut kiri itu dihilangkan saja xD
Aku pas di Thailand juga pernah mau nyamar, tapi nggak jadi ah, nggak enak kalo bohong.
Ckckck parah juga ya gempanya ternyata
Banget, banyak korban juga